Hasan Saleh adalah tokoh kontroversial yang melewati beberapa fase
pergolakan Aceh. Menjalani masa kecil di zaman Belanda, menjalani
sekolah militer Jepang, membantu pergerakan kemerdekaan Indonesia
bersama ulama di bawah pimpinan Tgk Muhammad Daud Beureueh, hingga
menjalani konflik sosial peristiwa Cumbok.
Kontroversi Hasan Saleh dimulai ketika ia meninggalkan karir
militernya yang cemerlang dan memutuskan membelot dari TNI dan kemudian
bergabung dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di bawah
pimpinan Tgk Muhammad Daud Beureueh.
Padahal kala itu, karir Hasan Saleh yang berpangkat Mayor TNI sedang
melejit setelah sukses memadamkan pemberontakan Kahar Muzakar di
Sulawesi dan pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS).
Belakangan, ketika kekuatan Daud Beureueh mulai melemah, Hasan Saleh
menjadi tokoh yang merancang perdamaian antara DI/TII dengan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Hasan Saleh bersama sejumlah tokoh DI/TII memimpin penyerahan diri
sebagian besar anggota militer DI/TII untuk kembali ke pangkuan Ibu
Pertiwi. Namun, bagi sebagian kalangan, Hasan Saleh dianggap sebagai
pengkhianat bagi perjuangan DI/TII.
Kontroversi dari sosok Hasan Saleh ini tercatat dalam sejumlah
literatur, terutama yang membahas tentang pemberontakan DI/TII di Aceh.
Kehidupan dan perjuangan Hasan Saleh ini juga ditulis dalam bentuk novel
oleh novelis kondang, Akmal Nasery Basral, dalam buku berjudul
"Napoleon dari Tanah Rencong".
Kontroversi inilah yang membuat saya tergerak untuk berkunjung dan
melihat-lihat rumahnya, di Desa Teumeucet, Kemukiman Metareum, Kecamatan
Mila, Kabupaten Pidie.
Perjalanan dimulai dengan singgah di rumah Fatimah, keluarga dari
Yakob dan Kasem yang tinggal di Gampong Blang Matareum. Yacob dan
iparnya Kasem ini adalah dua saudagar yang cukup berperan dalam
mendukung perjuangan Tgk Muhammad Daud Beureueh dalam memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia.
Sebelum ke rumah Hasan Saleh, kami terlebih dahulu dibawa berkeliling
ke rumah Yakob dan Kasem. Rumah besar mirip pendopo pejabat ini, kini
telah lapuk dimakan usia.
Rumah ini terlihat sudah lama tidak dihuni. Rumput dan semak belukar,
tumbuh subur di halaman rumah yang cukup luas. Satu krong (lumbung
padi) seluas 3x3 meter dengan tinggi hampir 4 meter masih berdiri kokoh
di samping rumah itu.
Selasar, dapur, ruang makan, dan ruang pembantu di belakang
menyisakan kenangan betapa megahnya rumah itu pada masanya. Di rumah
inilah, Abu Beureueh pernah bersembunyi ketika diuber-uber oleh pasukan
Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar